Ilustrasi
JAKARTA - Pemerintah didesak untuk melakukan
pembicaraan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO) terkait hambatan teknis perdagangan (technical barriers to trade/TBT) karena adanya kebijakan proteksonisme biofuel di Eropa.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menilai, kebijakan yang dberlakukan oleh Eropa itu tidak adil. Dalam kebijakan tersebut, kata dia, Eropa menggunakan banyak sekali perhitungan.
Menurutnya, Eropa menggunakan sejumlah alasan teknis terkait isu lingkungan sehingga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang masuk ke wilayah itu harus berkelanjutan (sustainable) serta bersertifikasi sesuai dengan Renewable Energy Directive (RED). Padahal, untuk mendapatkan sertifikasi dibutuhkan biaya yang cukup tinggi. Sementara, sekitar 50 persen lahan perkebunan sawit di Indonesia dimiliki oleh petani.
“Contoh, kalau berkebun harus meratakan tanah. Tingkat CO2 yang dilepas oleh biodiesel dari fosil di seluruh negara minimal harus 35 persen. Setelah dihitung, katanya Indonesia hanya 19 persen. Itu namanya tidak adil,” kata Paulus ketika dihubungi di Jakarta, Senin (5/12/2011).
Paulus menjelaskan, pihaknya sudah membicarakan hal tersebut dengan Wakil Menteri Perdagangan yang waktu itu masih dijabat oleh Mahendra Siregar. Paulus berharap, Menteri Perdagangan dan Wakil Menteri Perdagangan yang baru bisa berupaya agar masalah itu cepat selesai.
Pasalnya, kata dia, tidak tertutup kemungkinan apabila negara lainnya yang menjadi pasar ekspor CPO Indonesia juga memberlakukan kebijakan serupa. Meski pasar di Eropa masih relatif kecil, namun, kata dia, hak Indonesia tetap harus diperjuangkan.
“Di manapun pasar kita. Mau besar atau kecil, tetap harus kita perjuangkan. Diversifikasi pasar boleh saja, tapi apa salahnya kalau kita perjuangkan dulu,” tegasnya.
Apabila masalah tersebut bisa segera selesai, maka, lanjutnya, akan mendorong kesuksesan program hilirisasi yang ditargetkan oleh pemerintah. “Yang paling besar menyerap CPO adalah biofuel. Untuk itu, kita bela pasar kita di luar negeri,” ucapnya.
Menurutnya, tidak masuk akal apabila perhitungan yang dilakukan Eropa menyatakan bahwa Indonesia hanya melepas C02 19 persen. Pasalnya, kata dia, produksi CPO Indonesia jauh lebih besar dari negara lain yakni 4 ton per hektare (ha).
“Saya nggak tahu itu hitungannya darimana. Patut dipertanyakan. Hitungannya tidak tepat. Perusahaan kita yang mengekspor kesana juga kena penalti. Seakan-akan ini ada hambatan perdagangan berupa non-tariff barrier,” paparnya. (Sandra Karina/Koran SI/wdi)
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menilai, kebijakan yang dberlakukan oleh Eropa itu tidak adil. Dalam kebijakan tersebut, kata dia, Eropa menggunakan banyak sekali perhitungan.
Menurutnya, Eropa menggunakan sejumlah alasan teknis terkait isu lingkungan sehingga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang masuk ke wilayah itu harus berkelanjutan (sustainable) serta bersertifikasi sesuai dengan Renewable Energy Directive (RED). Padahal, untuk mendapatkan sertifikasi dibutuhkan biaya yang cukup tinggi. Sementara, sekitar 50 persen lahan perkebunan sawit di Indonesia dimiliki oleh petani.
“Contoh, kalau berkebun harus meratakan tanah. Tingkat CO2 yang dilepas oleh biodiesel dari fosil di seluruh negara minimal harus 35 persen. Setelah dihitung, katanya Indonesia hanya 19 persen. Itu namanya tidak adil,” kata Paulus ketika dihubungi di Jakarta, Senin (5/12/2011).
Paulus menjelaskan, pihaknya sudah membicarakan hal tersebut dengan Wakil Menteri Perdagangan yang waktu itu masih dijabat oleh Mahendra Siregar. Paulus berharap, Menteri Perdagangan dan Wakil Menteri Perdagangan yang baru bisa berupaya agar masalah itu cepat selesai.
Pasalnya, kata dia, tidak tertutup kemungkinan apabila negara lainnya yang menjadi pasar ekspor CPO Indonesia juga memberlakukan kebijakan serupa. Meski pasar di Eropa masih relatif kecil, namun, kata dia, hak Indonesia tetap harus diperjuangkan.
“Di manapun pasar kita. Mau besar atau kecil, tetap harus kita perjuangkan. Diversifikasi pasar boleh saja, tapi apa salahnya kalau kita perjuangkan dulu,” tegasnya.
Apabila masalah tersebut bisa segera selesai, maka, lanjutnya, akan mendorong kesuksesan program hilirisasi yang ditargetkan oleh pemerintah. “Yang paling besar menyerap CPO adalah biofuel. Untuk itu, kita bela pasar kita di luar negeri,” ucapnya.
Menurutnya, tidak masuk akal apabila perhitungan yang dilakukan Eropa menyatakan bahwa Indonesia hanya melepas C02 19 persen. Pasalnya, kata dia, produksi CPO Indonesia jauh lebih besar dari negara lain yakni 4 ton per hektare (ha).
“Saya nggak tahu itu hitungannya darimana. Patut dipertanyakan. Hitungannya tidak tepat. Perusahaan kita yang mengekspor kesana juga kena penalti. Seakan-akan ini ada hambatan perdagangan berupa non-tariff barrier,” paparnya. (Sandra Karina/Koran SI/wdi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar