Welcome to Iamfauzie.blogspot.com - Welcome To My Blog's - Welcome to Iamfauzie.blogspot.com - Welcome To My Blog's - Welcome to Iamfauzie.blogspot.com - Welcome To My Blog's - Welcome to Iamfauzie.blogspot.com - Welcome To My Blog's

Senin, 26 Desember 2011

Wisata Sejarah di Kampung Kwitang



Finroll.com – Bagi Anda yang akrab dengan dunia baca-tulis, pasti mendengar kata Kwitang yang terbayang adalah ribuan buku dalam toko buku bekas yang berjejer dari perempatan Senen hingga ke arah Tugu Tani. Daerah ini sudah kesohor sejak lama sebelum film “Ada Apa Dengan Cinta” menyisipkan satu scene Kwitang saat Rangga mencari buku Aku karya Chairil Anwar.
Kisah kampung tua ini diawali pada Abad 17 ketika seorang pengembara dari dataran Tiongkok, Kwe Tang Kiam menjejakkan kakinya di tanah Betawi. Konon, Kwe Tang Kiam telah mengembara ke hampir seluruh pelosok daerah Indonesia. Di salah satu kampung di Betawi pengembara yang juga pedagang obat-obatan tersebut pun menetap. Selain jago dalam meracik obat-obatan, ia juga ahli dalam berolah silat. Di daerah tempat ia menetap, Kwe Tang Kiam menurunkan ilmu silatnya kepada orang-orang yang tinggal di sekitar.
 
Kehebatan ilmu silat Kwe Tang Kiam diakui masyarakat Betawi saat itu. Silat yang diajarkannya menggunakan jurus-jurus ampuh mirip aliran Shaolin yang memadukan unsur tenaga, kekuatan fisik dan kecepatan. Hal ini sangat berbeda dengan aliran silat Betawi yang lebih menonjolkan ilmu kebatinan.
 
Walau demikian Kwe Tang Kiam mengakui kehebatan ilmu kebatinan silat Betawi setelah mencoba keampuhan ilmu salah seorang jawara Betawi bernama Bil Ali.Terbukti, ilmu kanuragan beraliran putih yang dimiliki Bil Ali berhasil menundukkan Kwe Tang Kiam. Hingga akhir hayatnya Kwe Tang Kiam menetap di kampung ini dan dengan kesadaran sendiri ia kemudian memeluk agama Islam. Kampung tempat ia menetap pun kemudian menjadi desa kampung Kwitang, yang masuk dalam wilayah Jakarta Pusat.
 
Satu abad lalu, kampung ini masih dilalui getek-getek dari bambu yang melintas di Sungai Ciliwung—tempat warga melakukan hajat, seperti mencuci, mandi, berwudhu, dan buang air besar. Kala itu, letak rumah-rumah lebih tinggi dari sungai, hingga bila Ciliwung meluap, daerah itu tidak sampai menimbulkan banjir.
 
Di ujung Jalan Kembang VIII, terdapat rumah tempat seniman legendaris, Ismail Marzuki-pencipta lebih 200 lagu-dilahirkan. Rumahnya kini ditempati seorang Tionghoa. Tapi, beberapa keluarga Ismail Marzuki i masih tinggal di Kwitang. Di Kwitang pula, pernah tinggal Mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher. Tokoh Masyumi, Mr Muhamad Roem, sempat tertembak tangan kanannya oleh Belanda (NICA) sewaktu bergrilya di Kwitang semasa revolusi fisik. Di kampung ini juga pernah tinggal Trisno Djuana, penulis dan penerjun terkenal 1970-an.
Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa seniman yang sering main di Kwitang adalah Ajip Rosyidi, Misbach Yusa Biran, dan Arifin C. Noer, SM Ardan. Para seniman Senen ini kerap berkumpul di warung kopi 'Bang Amat', dekat kediaman Habib Ali Kwitang. Kampung Kwitang terkenal dengan cerita Nyai Dasima, seorang nyai dari Parung, Bogor, yang dijadikan istri piaraan oleh Meener Willem. Dasima tinggal di Kwitang setelah menikah dengan Samiun, tukang sado, setelah diingatkan wanita Muslim bahwa kawin tanpa dinikah hukumnya haram. Letak rumah Samiun sekarang berada di Jalan Kembang I. Di dekatnya terdapat Gang Mendung (Kini Jalan Kembang V), tempat tinggal Bang Puase, jagoan Kwitang yang membunuh Nyai Dasima atas suruhan istri pertama Samiun yang bernama Hayati.
 
Tiap Ahad pagi, ribuan orang menghadiri Majelis Taklim Habib Ali, guru para ulama Betawi, yang lahir 20 April 1870 dan wafat September 1968. Majelis taklim ini telah berusia lebih dari 80 tahun. Ibu Habib Ali bernama Nyi Salkmah, puteri seorang ulama Betawi dari Meester Cornelis (Jatinegara). Ayahnya bernama Habib Abdurahman Alhabsyi, yang meninggal sejak Habib Ali berusia sepuluh tahun. Ia dimakamkan di Jalan Cikini Kecil 14 A, Jakarta Pusat. Ayah Habib Ali adalah kerabat dari pelukis terkenal Raden Saleh (1816-1880). Karena itu, makamnya berdekatan dengan Taman Ismail Marzuki, yang ketika itu merupakan bagian dari kediaman Raden Saleh.
 
Sayang sekali, Pemda DKI tak memiliki visi-misi budaya yang jelas terkait soal wisata kampung tua. Itu berkenaan dengan rencana digusurnya makam Habib Abdurahman bin Abdullah Alhabsyi, ayah Habib Ali, guna pembangunan apartemen 32 lantai. Padahal, makam itu sudah ada sejak 1881, dan dikenal dengan Habib Cikini. Bagi Anda yang sudah malang-melintang di kampung ini ujung ke ujung, niscaya bisa mendalami apa pentingnya sejarah bagi kita. Bukan hanya sekadar memorabilia masa lalu, tapi juga sebagai upaya penghormatan atas apa yang telah dilakukan para pendahulu kita semasa hidup mereka, yang kemudian kita warisi sebagai kenangan. (raz)

Tidak ada komentar: