Kisah kampung tua ini diawali pada Abad 17 ketika seorang 
pengembara dari dataran Tiongkok, Kwe Tang Kiam menjejakkan kakinya di 
tanah Betawi. Konon, Kwe Tang Kiam telah mengembara ke hampir seluruh 
pelosok daerah Indonesia. Di salah satu kampung di Betawi pengembara 
yang juga pedagang obat-obatan tersebut pun menetap. Selain jago dalam 
meracik obat-obatan, ia juga ahli dalam berolah silat. Di daerah tempat 
ia menetap, Kwe Tang Kiam menurunkan ilmu silatnya kepada orang-orang 
yang tinggal di sekitar.
Kehebatan ilmu silat Kwe Tang Kiam diakui masyarakat Betawi saat 
itu. Silat yang diajarkannya menggunakan jurus-jurus ampuh mirip aliran 
Shaolin yang memadukan unsur tenaga, kekuatan fisik dan kecepatan. Hal 
ini sangat berbeda dengan aliran silat Betawi yang lebih menonjolkan 
ilmu kebatinan.
Walau demikian Kwe Tang Kiam mengakui kehebatan ilmu kebatinan 
silat Betawi setelah mencoba keampuhan ilmu salah seorang jawara Betawi 
bernama Bil Ali.Terbukti, ilmu kanuragan beraliran putih yang dimiliki 
Bil Ali berhasil menundukkan Kwe Tang Kiam. Hingga akhir hayatnya Kwe 
Tang Kiam menetap di kampung ini dan dengan kesadaran sendiri ia 
kemudian memeluk agama Islam. Kampung tempat ia menetap pun kemudian 
menjadi desa kampung Kwitang, yang masuk dalam wilayah Jakarta Pusat.
Satu abad lalu, kampung ini masih dilalui getek-getek dari bambu 
yang melintas di Sungai Ciliwung—tempat warga melakukan hajat, seperti 
mencuci, mandi, berwudhu, dan buang air besar. Kala itu, letak 
rumah-rumah lebih tinggi dari sungai, hingga bila Ciliwung meluap, 
daerah itu tidak sampai menimbulkan banjir.
Di ujung Jalan Kembang VIII, terdapat rumah tempat seniman 
legendaris, Ismail Marzuki-pencipta lebih 200 lagu-dilahirkan. Rumahnya 
kini ditempati seorang Tionghoa. Tapi, beberapa keluarga Ismail Marzuki i
 masih tinggal di Kwitang. Di Kwitang pula, pernah tinggal Mantan 
Menteri Agama, Tarmizi Taher. Tokoh Masyumi, Mr Muhamad Roem, sempat 
tertembak tangan kanannya oleh Belanda (NICA) sewaktu bergrilya di 
Kwitang semasa revolusi fisik. Di kampung ini juga pernah tinggal Trisno
 Djuana, penulis dan penerjun terkenal 1970-an.
Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa seniman yang sering main di 
Kwitang adalah Ajip Rosyidi, Misbach Yusa Biran, dan Arifin C. Noer, SM 
Ardan. Para seniman Senen ini kerap berkumpul di warung kopi 'Bang 
Amat', dekat kediaman Habib Ali Kwitang. Kampung Kwitang terkenal dengan
 cerita Nyai Dasima, seorang nyai dari Parung, Bogor, yang dijadikan 
istri piaraan oleh Meener Willem. Dasima tinggal di Kwitang setelah 
menikah dengan Samiun, tukang sado, setelah diingatkan wanita Muslim 
bahwa kawin tanpa dinikah hukumnya haram. Letak rumah Samiun sekarang 
berada di Jalan Kembang I. Di dekatnya terdapat Gang Mendung (Kini Jalan
 Kembang V), tempat tinggal Bang Puase, jagoan Kwitang yang membunuh 
Nyai Dasima atas suruhan istri pertama Samiun yang bernama Hayati.
Tiap Ahad pagi, ribuan orang menghadiri Majelis Taklim Habib Ali, 
guru para ulama Betawi, yang lahir 20 April 1870 dan wafat September 
1968. Majelis taklim ini telah berusia lebih dari 80 tahun. Ibu Habib 
Ali bernama Nyi Salkmah, puteri seorang ulama Betawi dari Meester 
Cornelis (Jatinegara). Ayahnya bernama Habib Abdurahman Alhabsyi, yang 
meninggal sejak Habib Ali berusia sepuluh tahun. Ia dimakamkan di Jalan 
Cikini Kecil 14 A, Jakarta Pusat. Ayah Habib Ali adalah kerabat dari 
pelukis terkenal Raden Saleh (1816-1880). Karena itu, makamnya 
berdekatan dengan Taman Ismail Marzuki, yang ketika itu merupakan bagian
 dari kediaman Raden Saleh.
Sayang sekali, Pemda DKI tak memiliki visi-misi budaya yang jelas 
terkait soal wisata kampung tua. Itu berkenaan dengan rencana digusurnya
 makam Habib Abdurahman bin Abdullah Alhabsyi, ayah Habib Ali, guna 
pembangunan apartemen 32 lantai. Padahal, makam itu sudah ada sejak 
1881, dan dikenal dengan Habib Cikini. Bagi Anda yang sudah 
malang-melintang di kampung ini ujung ke ujung, niscaya bisa mendalami 
apa pentingnya sejarah bagi kita. Bukan hanya sekadar memorabilia masa 
lalu, tapi juga sebagai upaya penghormatan atas apa yang telah dilakukan
 para pendahulu kita semasa hidup mereka, yang kemudian kita warisi 
sebagai kenangan. (raz)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar